Dugderan, sebuah tradisi unik yang telah mengakar di Kota Semarang, menjadi penanda dimulainya bulan suci Ramadan. Setiap tahun, masyarakat Semarang antusias menyambut datangnya bulan penuh berkah ini dengan perayaan Dugderan yang penuh warna dan kegembiraan.
Tradisi ini ditandai dengan arak-arakan yang meriah, menampilkan berbagai kesenian dan simbol-simbol keagamaan. Salah satu ikon yang paling menonjol dalam Dugderan adalah Warak Ngendog, makhluk imajinasi berbentuk hewan hibrida yang berkepala naga, bertubuh unta, dan berkaki kambing. Warak Ngendog membawa telur-telur yang melambangkan rezeki dan keberkahan di bulan Ramadan.
Dugderan tidak hanya sekadar perayaan seremonial, tetapi juga memiliki akar sejarah yang dalam. Tradisi ini bermula pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Ario Purbaningrat di Semarang. Konon, suara dentuman meriam dan bedug "dug" dan "der" yang mengiringi pengumuman dimulainya puasa kemudian dikenal sebagai "dugderan".
Lebih dari sekadar perayaan, Dugderan juga mencerminkan akulturasi budaya yang terjadi di Semarang. Warak Ngendog sendiri merupakan perpaduan dari tiga budaya Arab, Cina, dan Jawa, yang melambangkan keberagaman masyarakat Semarang.
Hingga kini, Dugderan terus dilestarikan sebagai warisan budaya yang berharga. Tradisi ini menjadi momen yang dinantikan oleh masyarakat Semarang, tidak hanya sebagai penanda datangnya bulan Ramadan, tetapi juga sebagai ajang untuk mempererat tali silaturahmi dan merayakan keberagaman.
