Di tengah arus informasi yang deras dan perkembangan teknologi yang pesat, insan pers dituntut untuk semakin profesional dan berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. Hal ini ditegaskan mengingat maraknya praktik akal-akalan atau imitasi dalam dunia jurnalistik yang berpotensi menggerus kredibilitas dan kepercayaan publik.
Akal-akalan yang dimaksud mencakup berbagai praktik manipulatif, mulai dari penyebaran berita bohong atau hoaks, plagiarisme, hingga fabrikasi data dan informasi. Praktik-praktik tersebut tidak hanya merugikan masyarakat yang menerima informasi yang salah, tetapi juga mencoreng citra jurnalisme profesional.
Kode etik jurnalistik menjadi landasan moral dan pedoman operasional bagi setiap insan pers dalam menjalankan tugasnya. Dengan berpegang teguh pada kode etik, jurnalis dapat menjaga integritas dan independensi dalam menyampaikan informasi yang akurat, berimbang, dan objektif.
Prinsip-prinsip dasar dalam kode etik jurnalistik, seperti akurasi, verifikasi, dan keberimbangan, menjadi krusial untuk mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan. Jurnalis harus selalu melakukan pengecekan fakta dan konfirmasi terhadap setiap informasi yang diterima sebelum dipublikasikan.
Selain itu, penting bagi jurnalis untuk menghindari plagiarisme atau penjiplakan karya orang lain. Karya jurnalistik haruslah orisinal dan berdasarkan hasil liputan serta investigasi yang mendalam. Integritas jurnalis dipertaruhkan ketika mereka menyajikan karya yang bukan hasil jerih payah sendiri.
Fabrikasi data dan informasi juga merupakan praktik yang harus dihindari. Jurnalis tidak boleh memanipulasi data atau menciptakan informasi palsu untuk mendukung suatu narasi tertentu. Kejujuran dan objektivitas adalah kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap media.
Di era digital, tantangan bagi insan pers semakin kompleks. Kemudahan akses informasi dan kecepatan penyebarannya melalui media sosial juga memperbesar potensi penyebaran hoaks dan disinformasi. Oleh karena itu, literasi digital dan kemampuan verifikasi informasi menjadi bekal penting bagi jurnalis.
Insan pers harus mampu memfilter dan menyaring informasi yang beredar di dunia maya. Kemampuan berpikir kritis dan analitis sangat dibutuhkan untuk membedakan informasi yang valid dan informasi yang menyesatkan.
Ketaatan pada kode etik jurnalistik bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi juga merupakan bentuk tanggung jawab moral insan pers terhadap publik. Dengan menjunjung tinggi etika dan profesionalisme, insan pers dapat menjaga marwah jurnalisme dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Meningkatkan kompetensi dan profesionalisme juga menjadi kunci penting. Pelatihan dan pendidikan berkelanjutan di bidang jurnalistik perlu terus ditingkatkan agar insan pers dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dan tantangan yang semakin kompleks.
Kolaborasi antar insan pers dan stakeholder terkait juga penting untuk memerangi praktik akal-akalan dalam jurnalistik. Dengan kerjasama yang solid, diharapkan praktik-praktik yang merugikan tersebut dapat diminimalisir dan kepercayaan publik terhadap media dapat terjaga.
Pada akhirnya, setia pada kode etik jurnalistik adalah harga mati yang harus dipegang teguh oleh setiap insan pers. Hanya dengan demikian, jurnalisme dapat menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi dan sumber informasi yang terpercaya bagi masyarakat.

Kategori: etika, jawa tengah, jurnalistik, media, pemerintahan, pemerintahan daerah, teknologi
Tag:ai, akal imitasi, digital, disinformasi, ganjar pranowo, gubernur jawa tengah, Hoax, informasi, insan pers, jawa tengah, jurnalis, jurnalistik, kecerdasan buatan, kode etik, kode etik jurnalistik, media, pers, Teknologi