Sebuah kisah menarik terungkap dari kedalaman Waduk Jatibarang, Semarang. Jauh di dasar waduk tersebut, terbaring sisa-sisa peradaban Desa Kedungjati, sebuah desa yang dulunya hidup di era Jawa Kuno, tepatnya abad ke-15. Desa ini bukanlah korban bencana alam, melainkan sengaja ditenggelamkan demi pembangunan waduk vital bagi Kota Semarang.
Kisah Desa Kedungjati bukan sekadar cerita rakyat. Keberadaannya tercatat dalam sejarah dan didukung oleh bukti-bukti arkeologis. Prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam menceritakan kisah desa ini yang berada di bawah kekuasaan raja-raja besar Jawa. Prasasti tersebut mencatat Kedungjati sebagai desa yang makmur, dengan sawah-sawah yang subur dan kehidupan masyarakat yang damai.
Kehidupan masyarakat Kedungjati kala itu sangat erat dengan pertanian. Mereka mengolah sawah dan ladang, memanfaatkan aliran Sungai Kreo yang mengalir melintasi desa. Sungai ini bukan hanya sumber pengairan, tetapi juga menjadi jalur transportasi dan pusat kegiatan ekonomi masyarakat.
Namun, perjalanan waktu membawa perubahan besar bagi Kedungjati. Pada abad ke-20, kebutuhan air bersih dan pengendalian banjir di Semarang semakin mendesak. Pemerintah kemudian memutuskan untuk membangun Waduk Jatibarang di lokasi yang saat itu ditempati oleh Desa Kedungjati.
Keputusan ini tentu saja berdampak besar bagi penduduk desa. Mereka harus meninggalkan tanah kelahiran yang telah dihuni selama berabad-abad. Proses relokasi dimulai dan warga Kedungjati dipindahkan ke lokasi yang lebih aman.
Meskipun berat hati, warga Kedungjati memahami pentingnya pembangunan waduk bagi masyarakat luas. Dengan penuh keikhlasan, mereka merelakan desa mereka ditenggelamkan demi kepentingan bersama.
Saat waduk mulai terisi air, perlahan-lahan rumah-rumah, sawah, dan segala peninggalan Desa Kedungjati tenggelam. Desa yang dulunya ramai dan penuh kehidupan kini bersemayam di dasar waduk.
Meski telah tenggelam, kisah Desa Kedungjati tetap hidup. Cerita tentang desa yang rela berkorban demi kepentingan bersama ini diwariskan turun temurun. Kisah ini menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur pengorbanan dan kebersamaan.
Kini, Waduk Jatibarang berdiri megah, memberikan manfaat bagi masyarakat Semarang dan sekitarnya. Waduk ini bukan hanya sumber air dan pengendali banjir, tetapi juga menyimpan kisah sejarah yang berharga.
Di dasar waduk, sisa-sisa Desa Kedungjati menjadi saksi bisu peradaban masa lalu. Meskipun tersembunyi di kedalaman air, kisah dan kenangan desa ini tetap terjaga dan menjadi bagian penting dari sejarah Kota Semarang.
Keberadaan Desa Kedungjati di dasar Waduk Jatibarang menjadi daya tarik tersendiri. Banyak peneliti dan arkeolog tertarik untuk mengungkap lebih jauh tentang peradaban yang hilang ini. Penemuan-penemuan arkeologis di dasar waduk diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kehidupan masyarakat Kedungjati di masa lampau.
Kisah Desa Kedungjati mengajarkan kita tentang pentingnya pengorbanan untuk kepentingan bersama. Keputusan warga desa untuk merelakan rumah dan tanah mereka demi pembangunan waduk merupakan contoh nyata dari semangat gotong royong dan kepedulian terhadap sesama.
Kisah ini juga mengingatkan kita untuk menghargai sejarah dan warisan budaya. Desa Kedungjati, meskipun telah tenggelam, tetap memiliki nilai sejarah yang tinggi. Melestarikan kisah dan peninggalan desa ini merupakan bentuk penghargaan terhadap peradaban masa lalu.
Semoga kisah Desa Kedungjati dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, pengorbanan, dan kepedulian terhadap sesama.
