Semarang kembali diramaikan dengan tradisi unik Gebyuran Bustaman dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Ribuan warga tumpah ruah di Jalan Bustaman, Semarang Utara, saling memercikkan air dengan riang gembira. Tradisi ini menjadi momen yang dinantikan masyarakat sebagai simbol penyucian diri menjelang Ramadhan.
Gebyuran Bustaman diyakini bermula dari kebiasaan KH Bustaman, seorang ulama dan tokoh masyarakat setempat. Beliau mengajarkan anak-anak mengaji dengan cara yang tidak biasa, yaitu dengan memercikkan air. Metode ini bertujuan agar anak-anak tidak mengantuk dan tetap semangat belajar. Seiring waktu, kegiatan memercikkan air ini berkembang menjadi tradisi yang digelar setiap menjelang Ramadhan.
Para peserta gebyuran tampak antusias dan ceria. Mereka membawa berbagai wadah berisi air, mulai dari ember, botol plastik, hingga pistol air. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun turut serta dalam kemeriahan ini. Suasana semakin meriah dengan alunan musik dan sorak-sorai peserta.
Gebyuran Bustaman tidak hanya sekadar bermain air. Tradisi ini mengandung makna filosofis yang dalam. Percikan air dimaknai sebagai simbol pembersihan diri dari kesalahan dan dosa, sehingga memasuki bulan Ramadhan dengan hati yang bersih. Selain itu, tradisi ini juga mempererat tali silaturahmi antarwarga.
Meskipun berlangsung meriah, Gebyuran Bustaman tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan keamanan. Para peserta diimbau untuk tidak menggunakan air kotor atau benda-benda berbahaya yang dapat melukai orang lain. Dengan demikian, tradisi ini dapat terus dilestarikan dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Semarang.

Kategori: budaya, ramadhan, religi, tradisi
Tag:budaya, Gebyuran Bustaman, jawa tengah, Perang Air, ramadhan, semarang, tradisi