Semarang kembali semarak dengan tradisi Dugderan, sebuah perayaan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Ribuan warga tumpah ruah memadati jalan-jalan protokol untuk menyaksikan arak-arakan budaya yang meriah.
Dugderan merupakan tradisi turun temurun yang telah ada sejak tahun 1881. Tradisi ini diawali dengan pemukulan bedug dan suara dentuman meriam, atau dalam bahasa Jawa disebut 'dug' dan 'der', sehingga dinamakan Dugderan. Suara tersebut menandai dimulainya ibadah puasa Ramadan.
Arak-arakan Dugderan menampilkan berbagai kesenian dan budaya lokal, seperti Warak Ngendog, figur menyerupai binatang mitologi perpaduan kambing, naga dan gajah. Warak Ngendog merupakan simbol akulturasi budaya di Semarang, yang menggambarkan perpaduan Arab, Cina, dan Jawa.
Selain Warak Ngendog, arak-arakan juga dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan seni lainnya, seperti barongsai, drumband, dan gunungan hasil bumi. Gunungan berisi aneka buah dan sayur yang diperebutkan warga setelah arak-arakan selesai. Masyarakat percaya bahwa mendapatkan hasil bumi dari gunungan tersebut akan membawa berkah.
Tak hanya menyaksikan arak-arakan, warga juga dapat menikmati berbagai kuliner khas Semarang yang dijajakan di sepanjang rute Dugderan. Mulai dari makanan tradisional hingga makanan modern, semuanya tersedia untuk memanjakan lidah para pengunjung.
Tradisi Dugderan bukan hanya sekadar perayaan penyambutan Ramadan, tetapi juga menjadi ajang pelestarian budaya dan mempererat tali silaturahmi antarwarga. Dugderan menjadi bukti bahwa tradisi dapat terus hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi.
